Kunjungan Teman

Monday, April 4, 2011

Skenario Terburuk dari Jepang

Peristiwa Maret 11, yang menimpa Jepang, sejatinya tidak bisa dipandang kecil pengaruhnya bagi ekonomi Indonesia, tetapi juga keliru bila kita menunjukkan kekhawatiran yang berlebihan. Belakangan ini telah banyak analisis yang menghubungkan pengaruh tsunami Jepang dengan ekonomi Indonesia. Kebanyakan analisis tersebut melihat bahwa tsunami Jepang tidak memberi dampak signifikan bagi ekonomi Indonesia. Ini mengingat transaksi perdagangan Indonesia dengan Jepang tidak terlalu besar, yaitu ekspor sekitar 13 persen dan impor sekitar 16 persen.  Namun, analisis yang hanya berdasarkan data-data perdagangan Indonesia-Jepang tersebut juga bisa menyesatkan. Sebab, konteks tsunami Jepang dan pengaruhnya bagi Indonesia tidak bisa hanya dilihat secara bilateral. Ini mengingat, Jepang adalah perekonomian yang besar dan menjadi bagian penting dalam supply chain industri, perdagangan, dan keuangan global. Karena itu, kita perlu melihat secara utuh konteks tsunami Jepang ini agar bisa mengukur risiko secara lebih tepat.

Potensi

Jepang merupakan negara dengan PDB terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina. Kontribusi PDB Jepang terhadap PDB dunia mencapai 9 persen. Sementara itu, Tohoku, kawasan yang terkena tsunami, memberi kontribusi sekitar 8 persen bagi PDB Jepang. Jepang merupakan penyuplai komponen bagi industri elektronik, otomotif, dan pesawat dari berbagai negara. Beberapa perusahaan global yang menjadi pelanggan pabrikan Jepang, seperti Samsung Electronics, Ford Motor, dan Boeing, saat ini sedang menunggu kepastian pasokan komponen dari Jepang.
Berdasarkan studi CLSA Pacific Markets, pabrikan Jepang memproduksi seperlima semikonduktor dunia dan 40 persen komponen elektronik dunia. Goldman Sach memperkirakan Taiwan Semiconductor Manufacturing dan United Microelectronics, yang merupakan produsen chip terbesar di dunia, dapat kehilangan pendapatan pada kuartal II dan III 2011 akibat gangguan pasokan silicon wafers dari Jepang yang dipergunakan untuk memproduksi chip.
Sekalipun telah banyak menempatkan pabriknya di luar negeri, Jepang tetap memiliki market share yang besar, khususnya sebagai penyuplai bahan baku bagi industri manufaktur global. Dengan kata lain, saat ini pabrikan manufaktur, elektronik, otomotif, dan teknologi global berpotensi menghadapi tekanan kenaikan harga produk dan bisa mengganggu industri manufaktur global.
Potensi worst-case scenario dapat terjadi jika respons kebijakan yang diambil otoritas Jepang tidak tepat. Sebelum tragedi 11 Maret, perekonomian Jepang sejatinya tidak dalam kondisi baik, di mana pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV 2010 turun menjadi 1,3 persen. Untuk mendongkrak perekonomiannya, Bank of Japan (BOJ) telah menyuntikkan dana 28 triliun yen (atau sekitar US$346 miliar) ke dalam sistem keuangan Jepang. Dan setelah tragedi 11 Maret, BOJ berencana membeli exchange-traded funds, real estate investment trusts, corporate debt, dan government bonds hingga 10 triliun yen serta mengumumkan akan memasok sekitar 30 triliun yen dalam bentuk pinjaman berdurasi 3-6 bulan dengan tingkat bunga yang rendah, yaitu 0,1 persen.
Kebijakan BOJ ini mirip kebijakan bank sentralnya AS, The Fed, di mana bank sentral menjadi penopang utama bagi kebijakan pemerintah untuk menggenjot perekonomian. Apakah kebijakan BOJ dengan biaya yang besar ini akan menjadi sesuatu yang positif (too big to save) atau sebaliknya, menjadi blunder bagi ekonomi Jepang (too big to fail)? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita cermati beberapa kemungkinan berikut.
Pertama, Jepang adalah negara pengutang terbesar di dunia. Pada 2010, rasio utang pemerintah Jepang mencapai 191,8 persen terhadap PDB-nya dan diperkirakan bisa mencapai 210 persen dari PDB pada 2012. Sebelum 11 Maret, Merrill Lynch membuat proyeksi pertumbuhan PDB Jepang 2011 sebesar 1,7 persen. Setelah 11 Maret, Jepang diperkirakan hanya akan tumbuh kurang dari 1 persen. Jepang diperkirakan akan mendorong fiskal dan moneter lebih ekspansif untuk mendorong ekonominya. Kebijakan fiskal yang ekspansif ini berisiko menyebabkan pembengkakan defisit fiskal dan peningkatan utang pemerintah.
Kedua, Jepang adalah negara yang terkenal dengan rezim suku bunga rendah. Kebijakan suku bunga rendah ini tentu kurang menarik bagi investor portofolio untuk menempatkan dananya di pasar keuangan Jepang. Di sisi lain, Jepang saat ini membutuhkan likuiditas cukup untuk menopang kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif. Pertanyaannya, ketika kebutuhan likuiditas diperkirakan meningkat, akankah Jepang bertahan dengan rezim suku bunga rendah?
Ketiga, Jepang memiliki ketergantungan tinggi kepada ekspornya. Karena itu, Jepang sangat berupaya agar ekspornya tetap kompetitif. Salah satu caranya, menjaga agar yen tidak menguat terlalu drastis. Pada 16 Maret, yen menguat dan mencapai US$ 1 = 76,25 yen, tertinggi sejak Perang Dunia II. Penguatan ini diduga akibat adanya perburuan yen oleh spekulan untuk mengantisipasi adanya repatriasi dana para investor dan perusahaan Jepang untuk membiayai kegiatan rekonstruksi induk perusahaan ataupun membayar klaim kerugian di Jepang. Untuk mengembalikan nilai tukar yen, BOJ melakukan intervensi pasar. Financial Times mencatat BOJ telah menjual 2.000 miliar yen (sekitar US$25 miliar) untuk “melawan” dolar AS pada 18 Maret.

Antisipasi Indonesia

Kebijakan yang dilakukan otoritas Jepang di atas berpotensi menyedot likuiditas global masuk ke Jepang. Kecuali, bila untuk membiayai kebijakan fiskal yang ekspansif, Jepang tidak melakukan penerbitan obligasi baru, melainkan misalnya memanfaatkan cadangan devisanya yang kini mencapai US$ 886 miliar. Bila kebijakan yang diambil ternyata adalah penerbitan obligasi dengan tingkat bunga tinggi, itu bisa menjadi ancaman bagi pasar keuangan kita yang saat masih membutuhkan likuiditas jangka pendek.
Kemungkinan repatriasi dana ke Jepang juga berpotensi menyerap likuiditas pasar. Kondisi ini berpotensi menimbulkan sentimen negatif bagi pasar modal kawasan Asia Timur dan Tenggara, sehingga menekan capital inflow dan nilai tukar negara-negara Asia.
Berbagai kemungkinan ini perlu dicermati oleh otoritas kita. Sebab, jika skenario di atas terjadi, ada potensi hal itu mengganggu pasar keuangan kita, seperti yang terjadi pada pertengahan 2008, di mana indikator pasar modal kita jatuh dan likuiditas keuangan sangat ketat. Krisis di Jepang juga berpotensi mengganggu rencana investasi Jepang di Indonesia yang dalam 5 tahun ke depan diperkirakan mencapai US$ 9 miliar, di mana sekitar 39 persennya adalah investasi di sektor manufaktur.
Penulis berpendapat bahwa menyiapkan langkah antisipasi untuk menghadapi “worst-case scenario” atas apa yang terjadi di Jepang adalah langkah yang bijak ketimbang kita menghibur diri bahwa hal itu tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap ekonomi kita. Karena itu, sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti “tragedi bailout Century” akibat krisis 2008, ada baiknya kita segera menyiapkan kebijakan jaring pengaman sistem keuangan (JPSK). Karena itu pula, undang-undang JPSK yang dulu pernah dibahas secepatnya disahkan untuk memberi kepastian bagi otoritas ekonomi kita dalam mengambil tindakan strategis untuk mengantisipasi pengaruh dari krisis Jepang dan krisis ekonomi global saat ini.

No comments:

Post a Comment